Selasa, 13 Disember 2011

Hindu Bali: Hari Kuningan

 

Hari Kuningan menurut perkiraan piama Bali disebut sebagai Saniscara Keliwon Wuku Kuningan merupakan hari kebesaran penganut Hindu Dharmma Bali. Upacara diadakan setiap 210 hari merupakan perayaan yang dirangkaikan sekali dengan Hari Galungan yang dirayakan 10 hari sebelumnya.

Menurut kepercayaan penduduk Pulau Bali, hari Kuningan menjadi hari menyemah kepada nenek moyang sebelum mereka berlepas pulang semula ke alam kahiyangan selepas turun dari keinderaan melawat bumi. Selepas perayaan Galungan yang merayakan kemenangan ke atas ripuh (jiwa kotor), penganut Hindu dharma akan bersiap siaga dengan jiwa suci demi menegakkan dharmma dalam kehidupan mereka selepas itu.  

Menyentuh hubungan dengan leluhur, penganut Hindu dharmma mempercayai bahawa mereka terhutang budi kepada nenek moyang. Munculnya pernyataan yang selalu dilihat dalam upacara penyucian atman orang yang sudah meninggal supaya boleh bersatu dengan Parameswara. Penganut Hindu Dharmma percaya bahawa atman yang sebelumnya bersemayam dalan tubuh manusia perlu disucikan dahulu sebelum bersatu dengan Parameswara. Perayaan Kuningan merupakan lambang penghormatan kepada pitar (nenek moyang) yang meliputi seluruh kehidupan. Ia menunjukkan kerinduan manusia terhadap nenek moyang di keinderaan.

Persoalan keagamaan bukan hanya persoalan berbentuk keagamaan tetapi juga dalam bentuk upacara menghubungkan manusia dengan dewa-dewi dan Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi (Siva) juga mempunyai bahagian kemanusiaan yang bersentuhan dengan persoalan di benak manusia dan persoalan bumi. Makanya penganut Hindu dharmma tidak berhenti dalam memberi erti kepada setiap upacara yang terlaksana. Mereka memerlukan penyuburan, pengenalan semula, serta daya cipta bagi menggali semula bahagian-bahagian erti upacara supaya dapat menjawab persoalan penganut Hindu dharmma dengan lebih teliti. 

Begitu juga dengan upacara pemujaan nenek moyang di Hari Kuningan ini. Ia lebih diertikan dalam bentuk persoalan bumi iaitu persoalan masa kini yang dihadapi dalam hidup seharian. Contohnya dengan melihat kepada kebenaran warisan nenek moyang yang semakin terhakis contohnya budaya, tanah, atay goyahnya pegangan budi yang luhur masyarakat Hindu yang cenderung dengan sikap membenarkan keburukan. 

Ia juga terlihat pada persoalan bumi seperti ini yang memerlukan perhatian semua di masa depan. Alasannya terbahagi dua pula:

1. Bersifat masa kini dan hakikat yang memerlukan tindakan segera.
2. Pengertian yagna dalam erti kata yang ia diabaikan oleh penganut Hindu. Penganut Hindu lebih memberi penekanan terhadap yagna upacara berbanding dengan pengertian yagna yang lebih cenderung kepada manusia masih perlu untuk dibangunkan jiwanya dalam keagamaan.

Dalam erti kata penghormatan kepada nenek moyang, ada perlunya ia membangkitkan kesedaran untuk menjaga negeri Bali agar tidak hilang dari genggaman penganut Hindu serta berubah peruntukannya tanpa memerhatikan nilai-nilai kesatuan hubungan dengan Parameswara, jagat raya, dan manusia. Kesedaran begini penting kerana terganggunya keseimbangan jagat ini akan membawa kesan bukan sahaja kepada negeri Pulau Bali tetapi juga membawa rasa bersalah terhadap nenek moyang yang mewariskan negeri Bali serta upacara keagamaan untuk anak cucu bagi menjaga keterusan sekeliling dan menjaga persekitaran dari dimusnahkan kehendak serakah manusia.

Demikian juga, penghormatan kepada nenek moyang boleh menjaga warisan keluhuran budi kehinduan secara teguh. Ia penting di tengah kecenderungan pergaulan antara agama yang semakin terbuka, hubungan antara kaum, dan kebudayaan dengan era globalisasi. Keterbukaan ini berkemungkinan menumbuhkan pembauran dan sikap melampau. Percampuran kebudayaan yang tidak mampu ditangani dengan cerdas akan menjadikan penganut Hindu sebagai orang yang menerima sahaja dan tidak berjalan benaknya. Sikap melampau pula boleh berubah menjadi kekeringan dalam masyarakat terlalu menjaga warisan budaya. Sedangkan warisan budaya itu perlu tidak semestinya semua perlu dijaga dengan ketat atau dipertahankan sampai jadi sempit. Banyak perkara perlu dijaga dan dipelihara seperti juga banyak perkara perlu direlakan agar terhapus secara tegas.  

Perayaan Kuningan menjadi pemangkin kepada terbangunnya kesedaran dan rasa hormat terhadap nenek moyang penganut Hindu. Tidak kira apa jatinya, sebagai Brahmana, Kesatria, Waisya, atau Sudra. Semuanya perlu cerdas dengan sikap widhya dalam mengertikan yagna. Penganut Hindu perlu memberi keseimbangan melalui yagna berupa tindakan terhadap warisan nenek moyang. Tindakan seperti menghalang ketamakan memperguna warisan nenek moyang baik dalam bentuk alam sekitar Pulau Bali yang dipayungi dengan nila-nilai kehinduan atau pun kebudayaannya hanya kerana mengejar kekayaan wang. Sikap awidhya akan membawa bencana dan membuat penganut Hindu bersalah terhadap nenek moyang walaupun upacara bergelar Kuningan datang dan pergi.  

- Adaptasi ke bahasa Melayu dari rencana penulis Bali bagi tujuan pendidikan, Ketut Adi

English Version 

Kuningan Day according to the Balinese almanac is known as the Saniscara Keliwon Wuku Kuningan. It is a festival for the Hindus of Bali Island in Indonesia celebrated every 210 days together with the Galungan Day which was celebrated 10 days prior to Kuningan. Kuningan means yellow because the Hindus also use yellow parasols to say farewell to ancestors.

According to Balinese Hindus, Kuningan Day is a day where they perform worship and respecting their ancestor spirits before they depart from the earth to the heavens. Their ancestors descended to the earth to visit human society during Galungan Day. Galungan Day marks the virtue is winning over the evil and the Hindus are ready to face their future with pure heart and soul.  

Regarding the relationship between the people and ancestors, the Hindus believe that they are owing to their ancestors. This could be symbolized in the rituals to cleanse the soul of the death to enable the death to achieve union with the Supreme Lord. Kuningan Day signifies the respect of Balinese Hindus toward deified ancestors and it refers to their whole life. It also shows that they miss their ancestors who reside in the lands of the gods.  

Questions and answers for the Hindus regarding religion is not only about the question in the form of theology but also in the form of rituals that connects human, deities, and the Sang Hiyang Widhi or Lord Shiva. Lord Shiva also has the human dimension which touches the problems of human-being and and earth. According to the Hindus, rituals and the meaning of the rituals come together and could not be separated. They need revitalization, re-orientation, and creativity to understand the meanings of rituals and its dimensions as it is also discreetly answering the questions of the Hindus themselves.

The same thing goes to ancestral worship rituals in Kuningan Day. It is more associated with the problems of earth and problems of the future faced by the people in daily life. For example, looking at the fact of the ancestral heritage of ancestors is fading day by day. The ancestral heritage includes culture, lands, or the lost of Hindus noble morality traits with permissive character. In the question of the earth which relates to the future, there are two reasons:  

1. More to contemporary and facts which needs immediate action.
2. The signification of yagna in the term that it has been neglected by the Hindus. Hindus are fond to emphasize the ritual of yagna as compared to the meaning lies behind yagna rites which tends to develop human soul in dharmma spirit.

In term of respecting ancestors, there is a necessity to develop realization to protect Balinese lands in Bali Island in Hinduism framework as to make sure that the relationship between Parameswara, the nature, and human harmoniously co-existing. The effect of disturbing the co-existence will not only bring bad impacts to Bali Island but also bringing shame and the feeling of guilty toward ancestors who inherited the lands and the dharmma to the heirs who are responsible to protect the nature from human lust to damage it.

The respect toward ancestors could also protect the inheritance of ancestors in term of Hindu noble morality. It is important in the midst of the inter-faith dialogue which is more open today, inter-ethnic, and inter-cultural in the globalization era with all the access to these. This openness could also result the syncretism of culture, religion and fanaticism. Syncretism will happen if the Hindus could not critically think and only accept whatever is given which makes them easily influenced. Fanaticism on the other hand could become the drought in society as the result of being too protective and defensive in term of culture and tradition. While the culture and tradition could not only being tightly protected or defended until it becomes a narrow culture. Many things that need to be monitored and there are also many things which should voluntarily being erased.

Kuningan Day becomes a quicksilver for a developed respect toward ancestors of the Hindus in Bali Island. No matter what jati a Hindu is, whether as a Brahmin, Keshatria, Vaisya or Sudra. Everybody must has the criticism with the vidhya attitude in interpreting the yagna. Hindus need balance through yagna with the acts toward the heritage of their ancestors. Example for the act is such protecting the lands and mother nature of Bali Island which is for long being molded up within Hinduism values or its cultural traits from being exploited by irresponsible and greedy individuals who are seeking for materialism. The avidhya attitude will cause disaster to the lands and brings the sense of guilty toward ancestors for the Hindus though the Kuningan Day comes and passes.         


- adapted from article written by Balinese writer, Ketut Adi for education purpose

Tiada ulasan:

Catat Ulasan